Bukan Musim Kemarau; Musim Kebakaran Hutan
Pemadaman kebakaran Hutan |
Indonesia kembali dihadapkan dengan masalah yang telah
berlalu. Masalah yang dihadapi sebenarnya sudah pernah ditangani, namun tidak
terlalu maksimal. Pemerintah kian berlarut-larut dengan masalah yang menimpa
negeri ini. Setiap tahunnya, selalu terjadi masalah seperti ini dan masalah
tersebut membuat tetangga menyalahkan negeri ini. Mau dibawa kemana muka negeri
ini?.
Kebakaran hutan dan lahan (Karhutala) menjadi momok
bagi Indonesia. Pasalnya sudah hampir 3 tahun terakhir masalah ini selalu
mengintai negeri ini. Pada tahun 2015,
dilansir dari www.mongabay.co.id , kebakaran hutan yang terjadi mencapai
1,7 hektar, dengan perincian yaitu Kalimantan 770.000 hektar, 35% berada di
lahan gambut. Lalu ada Sumatra yang mencapai 539.000, dengan 45,5% berada di
lahan gambut. Kebakaran hutan yang terjadi menimbulkan kabut asap yang sangat
berbahaya bagi kesehatan manusia. Tahun 2016
tepatnya sekitaran bulan Agustus, terjadi kebakaran hutan dan menimbulkan kabut
asap kembali. Dilansir dari www.bbc.com, kebakaran hutan yang terjadi di
Pekanbaru, Riau, asapnya menyebar hingga ke Negara Singapura. Pernyataan Data
Badan Lingkungan Nasional Singapura (NEA) menjelaskan bahwa Indeks Standar
Polutan (PSI) yaitu berkisar 137-143. PSI tersebut bila dibawah 200 termasuk
kategori udara “tidak sehat”, bila diatas 201-300 maka kategori “sangat tidak
sehat”, bila melampaui 300 maka “berbahaya”. 2017 tidak jauh berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya. https://news.detik.com memberitakan bahwa
sekitar 120 hektar lahan di Kabupaten Ogan Ilir, Sumatera Selatan terbakar yang
menimbulkan kabut asap yang menggangu pernapasan dan jarak pandang warga.
Jokowi Meninjau Kebakaran Hutan di Kabupaten Ogan Ilir, Sumatera Selatan |
Seperti yang diberitakan 3 situs tadi, masalah
tersebut banyak terjadi pada musim kemarau, kisaran bulan Agustus. Penyebab
utamanya juga pastinya manusia. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Zainal,
Mahasiswa Program Doktor di Universitas Padjajaran, Bandung, yang merupakan
dosen di Universitas Islam Riau, secara teori penyebab utamanya adalah 99,9%
adalah manusia apakah disengaja atau tidak disengaja,
sedangkan sisanya 0,1% adalah karena penyebab alami (petir, lava vulkanik).
Pada kasus ini, pembakaran hutan bisa digunakan sebagai konversi lahan, baik
nantinya digunakan untuk pertanian, industri, maupun kepentingan infrastruktur
pemerintah. Dengan membakar lahan, dinilai lebih murah dan efisien, serta
dengan membakar maka mineral hasil pembakaran akan mudah diserap oleh tanaman.
Sementara dilansir dari www.pusatkrisis.kemenkes.go.id
, kebakaran hutan terjadi bisa karena faktor alam, dimana adanya musim kemarau
berkepanjangan dapat meningkatkan suhu diberbagai wilayah, termasuk hutan.
Untuk
tahun ini saja, pembakaran hutan masih didominasi oleh perbuatan manusia.
Tercatat ada sekitar 914 titik api, di Provinsi Kalimantan Barat. Regional
Kompas (https://regional.kompas.com)
menyatakan, data terbaru menunjukkan pada pukul 09.30 WIB (23/08) titik api
bertambah menjadi 914 titik, dengan perincian di Kota Pontianak sendiri ada 5
titik, dan yang paling banyak menyumbang asap ialah Kabupaten Kubu Raya dengan
173 titik. Kota Pontianak terkena imbasnya, sehingga menyebabkan udara yang
berada di Pontianak dinyatakan tidak sehat, dengan konsentrasi partikulat
(PM10) mencapai 165,26.Partikulat (PM10) adalah partikel udara kecil dengan
ukuran dibawah 10 mikron (mikrometer).
Indonesia telah banyak
mengeluarkan regulasi mengenai penanganan kebakaran hutan ini, dimana regulasi
tersebut tertuang dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan;
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan, yang saat ini sedang
proses revisi; Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup; serta PP No. 45 Tahun 2004 tentang Perlindungan
Hutan yang direvisi menjadi PP No. 60 Tahun 2009. Upaya lainnya juga dilakukan
seperti upaya pencegahan, pemadaman, dan penaganan pasca kebakaran. Upaya-upaya
tersebut terus mendapat dukungan dari pemerintah, terkhusus Kementerian
Kehutanan, serta mulai diberdayakan masyarakat untuk sadar akan pentingnya
hutan.
Namun, ada beberapa
masyarakat yang menganggap bahwa pemerintahlah yang paling bertanggung jawab
atas permasalahan ini. Dikutip dari www.viva.co.id, Arie Rompas beserta
kawan-kawannya telah melayangkan gugatan kepada Pengadilan Negeri (PN)
Palangkaraya pada tahun 2017 lalu. Mereka menggugat negera lantaran kasus
kebakaran hutan dan lahan. Para tergugat diantaranya Presiden Joko Widodo,
Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya, Menteri Pertanian Amran
Sulaiman, Menteri Agraria dan Tata Ruang Kepala Badan Pertanahan Nasional
Sofyan Djalil, Menteri Kesehatan Nilla F. Moeloek, Gubernur Kalimantan Tengah
Sugiantro Sabran, dan DPRD Kalimantan Tengah. Dimana salah satu hukumannya
diantaranya, Presiden Joko Widodo diputuskan untuk menerbitkan peraturan
pelaksana dari undang-undang nomer 32 tahun 2009 tentang perlindungan dan
pengelolaan lingkungan hidup, yang penting bagi pencegahan dan penanggulangan
karhutala, dengan melibatkan peran aktif masyarakat.
Melihat reaksi dari
masyarakat yang menuntut pemerintah tadi, dapat disimpulkan bahwa masyarakat
ingin melihat perubahan regulasi yang terjadi di tubuh pemerintah, serta
mengaharapkan tindakan nyata dari hal tersebut. Disisi lain, pemerintah tengah
berusaha untuk mengatasi masalah ini agar tidak menjadi polemik yang
berkelanjutan di pemerintahan selanjutnya. Akankah pemerintah bisa mewujudkan
keinginan masyarakat agar di setiap musim kemarau tidak terjadi hal yang
serupa?
Sumber
Sumber Foto
Tribbun Pontianak
Kompasiana.com
Komentar