Budaya Ngaret yang Begitu Lengket
Budaya yang satu ini memang sangat kental dikalangan masyarakat Indonesia. Hampir disetiap usia pasti ada yang namanya “Ngaret” atau biasa kita ketahui sebagai budaya untuk memperlama waktu, mengulur-ulur waktu, ataupun datang terlambat. Budaya tersebut layaknya menjadi rutinitas sebagian masyarakat, bahkan menjadi suatu kebiasaan. Ngaret berkaitan dengan tidak adanya kemauan dari diri sendiri untuk memulai suatu kegiatan, mungkin tidak jauh berbeda dengan budaya “Mager”. Bedanya dengan mager, ngaret biasanya dilakukan ketika seseorang sudah siap pergi atau melakukan kegiatan, namun masih saja ada ketidakmuan dari dirinya untuk memulainya.
Padahal dari kecil kita
sudah diajarkan untuk tepat waktu, namun seiring bertambahnya usia kita jadi
enggan untuk menghargai waktu. Waktu sekolah dulu, kita ingat betapa sangat
disiplinnya sekolah memperlakukan jam masuk sekolah yang harus tepat pada pukul
7 pagi. Ketika kuliah pun juga demikian, kita dituntut untuk bisa disiplin
dalam mengahdiri kuliah.
Budaya ngaret sangat lengket
dengan kehidupan sehari-hari. Saya menilai budaya ini akan berdampak pada
kehidupan sosial dan kerja. Salah satu contohnya saja yang aku alami adalah
ketika aku dan teman-temanku memutuskan untuk berkumpul di suatu tempat untuk
memulai silaturahmi ke rumah guru-guru SMA saat lebaran. Awalnya kami memang
sepakat untuk berkumpul di waktu yang telah ditentukan, namun, waktu berkata
lain. Kami berkumpul setelah 4 jam setelahnya, lewat dari waktu yang ditentukan.
Bayangkan saja 4 jam untuk keterlambatan sebenarya tidak dapat ditoleransi. Aku
paham, mungkin mereka ada kesibukan yang lain, terutama teman-temanku adalah
orang-orang yang pulang dari rantauan yang masih kangen-kangennya dengan
keluarga di rumah. Waktu itu aku juga memang terlambat, namun tidak terlalu
lama, hanya sekitar 1 jam saja. Aku masih ingin bermalas-malasan di rumah yang
memang hal tersebut hanya terjadi setahun atau 2 tahun sekali selama aku
berkuliah di Yogyakarta.
Untuk urusan ketepatan
waktu, hal tersebut butuh komitmen. Komitmen dalam menjalaninya. Komitmen kita
yang selalu menghargai waktu harus bisa dibiasakan. Kalau tidak dibiasakan,
kapan majunya negeri ini. Salah satu sosiolog Nia Elvina yang dikutip dari gaya.tempo.co menjelaskan bahwa nilai
kemauan untuk maju di masyarakat Indonesia masih terbilang sangat rendah.
Sehingga dengan mudahnya muncul budaya tidak menghargai waktu.
Ngaret juga identik dengan
rasa malas. Hal tersebut dijelaskan pada salah satu penelitian oleh Rimbi
Wijanti yang berkesimpulan bahwa budaya ngaret merupakan cerminan dari
kemalasan. Ngaret lebih dikarenakan kesengajaan untuk terlambat dibandingkan
dengan sebuah kejadian yang tidak diduga.
Ngaret juga termasuk ke perbuatan negatif dan bertabiat jelek. Oleh
sebab itu hal tersebut harus dihilangkan, dengan menejemen waktu yang baik,
bersikap disiplin, dan lebih mengahragi waktu. Seharusnya budaya seperti ini
jangan dianggap sepele. Waktu iu sangat penting dan berharga. Aku juga masih
harus bisa mengurangi budaya ngaret yang terkdang aku lakukan baik disengaja
maupun tidak.
Memang, kegiatan untuk
menanggulanginya cukup sulit dilakukan. Apalagi kalau budaya ngaret sudah
mendarah daging dan sangat lengket dengan kehidupan kita. Namun, kita harus
percaya dan yakin kita bisa mengubah kebiasaan tersebut dan memperbaikinya,
setidaknya pada hal-hal kecil. Sedikit demi sedikit beberapa kegiatan penting
harus diutamakan datang tepat waktu. Bila telah terbiasa, maka dengan
sendirinya kita akan terbiasa dating tepat waktu.
Seorang dosenku pernah
berkata bahwa, di dunia kerja nanti bila kita terlambat dari waktu yang
ditentukan, maka akan menerima konsekuensinya. Mungkin diberi teguran, hukuman,
potongan, atau hal-hal yang dapat membuat jera kita sebagai pelaku “Keterlambatan”.
Dengan perkataanya pun aku harus berusaha untuk bisa menejemen waktu dengan
baik, dan memanfaatkan waktu dengan tepat.
Komentar