Permasalahan Standar Kompetensi Apoteker dan Studi Kefarmasian

Menjadi ahli dalam masalah obat-obatan adalah tuntutan yang cukup besar bagi Apoteker. Apoteker menjadi garda depan dalam penanganan obat-obatan pasien, dimulai dari resep diterima, disesuaikan kembali dengan kondisi pasien, hingga obat tersebut berada di tangan pasien dan pasien mengkonsumsinya hingga dirinya sembuh. Apoteker dalam melakukan praktik kefarmasian juga tidak sembarangan, layaknya tenaga kesehatan lainnya Apoteker memiliki suatu standar untuk menjadi patokan dalam berpraktik. Seperti yang disebutkan bahwa, ada 9 poin penting didialam Standar Kompetensi Apoteker yang harus dimiliki oleh setiap Apoteker, yaitu :

1. Mampu Melakukan Praktik Kefarmasian Secara Profesional dan Etik
2. Mampu Menyelesaikan Masalah Terkait Dengan Penggunaan Sediaan Farmasi
3. Mampu Melakukan Dispensing Sediaan Farmasi dan Alat Kesehatan
4. Mampu Memformulasi dan Memproduksi Sediaan Farmasi dan Alat Kesehatan Sesuai Standar Yang Berlaku
5. Mempunyai Ketrampilan Dalam Pemberian Informasi Sediaan Farmasi dan Alat Kesehatan
6. Mampu Berkontribusi Dalam Upaya Preventif dan Promotif Kesehatan Masyarakat
7. Mampu Mengelola Sediaan Farmasi dan Alat Kesehatan Sesuai Dengan Standar Yang Berlaku
8. Mempunyai Ketrampilan Organisasi dan Mampu Membangun Hubungan Interpersonal Dalam Melakukan Praktik Kefarmasian
9. Mampu Mengikuti Perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Yang Berhubungan Dengan Kefarmasian

Sumpah Apoteker Berlandaskan Moril Tanggungjawab yang Harus Diemban.
Sumber : https://www.usu.ac.id/id/

   Maka daripada itu, selayaknya Apoteker dan Calon Apoteker nantinya harus memenuhi kriteria komptenesi tersebut. Namun, apakah kesembilan standar kompetensi tersebut dijalankan dan diindah oleh apoteker Indonesia? Fakta di lapangan berkata lain. Beberapa daerah di luar pulau jawa khusunya, praktik kefarmasian tidak dijalankan sesuai dengan standar yang telah dibuat dan disahkan. Tidak melakukan pekerjaanya sesuai dengan kode etik dan prinsip profesionalitas sebagai tenaga kesehatan yang berkutat di obat-obatan. Terlebih apoteker pada saat pendidikannya dibekali berbagai ilmu pengetahuan yang sudah terkoneksi dengan Sembilan kompetensi apoteker Indonesia. Namun, masih banyak permasalahan yang terjadi, dan itu menjadi evaluasi baik dari Ikatan Apoteker Indonesia, Asosiasi Pendidikan Tinggi Farmasi Indonesia, dan lembaga-lembaga lain baik dari pemerintahan seperti Kementrian Kesehatan ataupun lemabag independen.

Selain dengan standar kompetensi apoteker, ada salah satu komponen yang dapat dibahas mengenai tahapan proses untuk menjadi apoteker, yaitu Ujian Komptensi Apoteker Indonesia (UKAI). UKAI adalah tahapan yang sangat menentukan apakah seorang calon apoteker layak menyandang predikat apoteker apa tidak. UKAI terbilang cukup baru dalam dunia kefarmasian Indonesia. Memiliki 3 landasan hukum yang memperkuat harus terlaksananya UKAI yaitu UU No 12 tahun 2012 tentang perguruan tinggi, Permenkes No 889 tahun 2011 pasal 1 dan pasal 9. UKAI diselenggarakan dengan harapan menjadi penilaian dan penyamaraatan standar calon apoteker seluruh Indonesia. Dengan artian, kompetensi lulusan Apoteker dari berbagai universitas di Indonesia. Dibalik tujuannya yang mulia, masih banyak kendala dan kontroversi yang terdapat dalam UKAI. UKAI dinilai belum memiliki landasan hokum yang mengatur terlalu dalam, hanya sebatas perinciaan dasarnya saja. Contohnya saja terkait dengan biaya untuk mengikuti UKAI. Penentuan biaya tidak diatur dalam undang-undang, bahkan tidak sesuai. Sesuai dengan arahan UU No. 36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan pasal 21 ayat 7 disebutkan bahwa “Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaksanaan uji kompetensi diatur dengan Peraturan Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pendidikan”. Dalam hal ini, yang berwenang adalah Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Republik Indonesia. Jika ditelaah, aturan-aturan instrument penjabaran UU No. 36 tahun 2004 tentang Tenaga Kesehatan pasal 21 ayat 7 untuk profesi Apoteker di mana? Terlihat, apakah sudah diatur apa belum mengenai biaya yang digunakan untuk keperluan apa saja dan nominal biaya yang dikeluarkan, dalam artian adalah transparansi biaya. Permasalahan tersebut harusnya menjadi tamparan bagi pemerintah untuk segera membuat peraturan yang mengatur berjalannya UKAI, agar UKAI tidak terseak-seok dan seolah dianak tirikan oleh pemerintah yang emnganggap profesi Apoteker sebelah mata saja.

Berbicara mengenai pendidikan kefarmasian dan apoteker di perguruan tinggi, tidak lepas dengan yang namanya kurikulum. Dimana kurikulum merupakan rencana ataupun perangkat yang digunakan sebagai pedoman pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan nasional. Kurikulum akan berdampak langsung terhadap outputnya, yaitu apoteker. Apoteker yang kurang diperhatikan dikarenakan masih banyaknya apoteker yang kurang kompeten. Beberapa permasalahan seperti belum meratanya kurikulum di berbagai perguruan tinggi farmasi di Indonesia salah satunya. Seperti perbedaan kurikulum yang tampak, antara institusi yang mendapat akreditasi A dengan institusi yang mendapatkan akreditasi C, dimana institusi yang mendapat akreditasi C akan susah payah dalam memenuhi kebutuhan kurikulum, karena kurikulum yang dicanangkan berpatokan kepada institusi yang mendapatkan akreditasi A tadi. Tidak adanya pedoman yang merata, dan tidak memandang akreditasi institusi menyebabkan kesenjangan kualitas pendidikan kefarmasian di seluruh Indonesia. Serta masih kurangnya fasilitas pendidikan membuat makin sulitnya untuk menerapkan kurikulum yang ada. Kuncinya hanya satu, pemerataan kurikulum pendidikan kefarmasian tanpa pandang akreditasi institusi.

Sistem magang calon apoteker atau yang biasa disebut dengan Praktek Kerja Profesi Apoteker (PKPA). Sistem dari PKPA tidak lepas dari permasalahan. Seperti yang disebutkan dalam suatu jurnal berjudul “Gambaran Pelaksanaan Praktek Kerja Profesi Apoteker di Apotek di Daerah Istimewa Yogyakarta” oleh Bondan Ardiningtyas, Marchaban, Hari Kusnanto, dan Achmad Fudolli pada tahun 2017 dimana PKPA dilaksanakan di apotek dalam waktu yang berbeda-beda, ada yang mengatakan 1 bulan, 1,5 bulan, bahkan 2 bulan. Para presptor yang tergabung dalam penelitian tersebut mengatakan idealnya PKPA Apotek dilaksanakan 2 bulan, dengan tinjauan target yaitu pelayanan dan menejemen. PKPA sendiri juga masih didasarkan oleh perguruan tinggi masing-masing, baik waktu pelaksanaan, tempat, dan kurikulum pendidikannya. Ada baiknya, kembali ke permasalahan tentang pemerataan kurikulum pendidikan farmasi dan apoteker, yaitu dengan pemerataan kurikulum. Sehingga kualitas apoteker yang dihasilkan dapat sesuai dengan kompetensi apoteker yang diharapkan. Waktu yang dibutuhkan PKPA juga harus dapat disesuaikan dnegan kondisi, dimana kondisi yang dimaksud untuk mewujudkan kompetensi apoteker.

Berbicara mengenai kesiapan saya untuk mengahadapi kehidupan profesionalitas sebagai seorang apoteker, idealisnya adalah dnegan tetap terus belajar, mengasah diri lebih baik lagi, dan perbanyak pengetahuan mengenai dunia kefarmasian guna mempersiapkan diri sebagai seorang apoteker yang kompeten. Berbicara realitasnya, masih banyak hal yang kurang saya dalami untuk menghadapi dunia professional sebagai apoteker, karena masih terlindung pada jiwa-jiwa mahasiswa yang notabenenya adalah jiwa yang belum 100% menjadi jiwa profesional. Masih bnayak yang harus dibenahi dari diri saya pribadi. Berbicara kesiapan, mungkin hanyan sekitar 30-40% saja, saya sejujurnya belum terlalu banyak menguasai. Yang terpikir adalah bagaimana dengan menjadi apoteker, saya mengabdi untuk negeri ini, bagaimana saya bisa mengabdi untuk meingkatkan kesehatan rakyat Indonesia, bagaimana saya bisa lulus dan disumpah menjadi apoteker yang professional dan setia pada sumpah yang telah diucapkannya. Dengan ditulisnya paper ini, dapat menjadi pemicu dan pelecut bagaimana kedepannya saya akan bertindak, bagaimana nasib apoteker kedepannya, dan yang lain sebagainya.

Apoteker Garda Terdepan Dalam Obat-Obatan
sumber : https://www.farmasi.asia


"Tulisan ini merupakan Opini yang menjadi tugas matakuliah Undang-Undang dan Etika Kefarmasian".

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PDD; Pekerjaan Kompleks yang Tak Relevan Lagi

Apa Itu Open Recruitment?

Mengenal Hujan