Mengulik Teror Koboi Jalanan Kota Pelajar: Klitih
Ilustrasi Klitih (Sumber : brilio.net) |
Berbicara
mengenai Yogyakarta atau yang biasa disebut Jogja tak lepas dari tagline kota tersebut, Berhati Nyaman.
Memang, Berhati nyaman atau bisa dibilang “Nyaman”, memang benar terjadi di
Jogja. Keramahan warganya, kemudahan akses fasilitas publik, tempat wisata yang
beragam, dan tempat mengenyam pendidikan tinggi yang mempuni, melekat pada diri
Jogja secara umum. Namun, dibalik itu semua, Jogja menyimpan cerita yang cukup pilu
untuk didengar, tentang teror koboi jalanan, Klitih.
Klitih
atau Nglitih, nama yang menurutku baru terdengar ketika aku sudah 2 tahun
tinggal di Jogja. Klitih yang kutau adalah suatu nama tempat yang merujuk pada
suatu pasar, yaitu pasar Klitikan. Dilansir dari kumparan.com, makna Klitikan adalah mencari barang-barang bekas dan
merujuk ke kegiatan tidak jelas dan bersifat santai.
Masih
dilansir dari situs yang sama, sejarah kekerasan yang dilakukan pelajar-pelajar
yang tidak bertanggungjawab di Yogyakarta sudah sejak tahun 1980-an hingga
1990-an. Hal tersebut dilakukan oleh geng-geng pelajar. Bahkan terdapat 2 geng
besar yang becokol di Jogja waktu itu, yaitu QZRUH dan JOXZIN. QZRUH memiliki
kepanjangan yang menurutku secara langsung geng ini memang bertujuan untuk
membuat rusuh, yaitu “Q-ta Zuka Ribut Untuk Tawuran”, dengan wilayah kekuasaan
mencakup Jogja bagian utara. Sementara JOXZIN memiliki kepanjangan yang
emcirikan tempat mereka biasa nongkrong, yaitu Joxo Zinthing atau Pojox Benzin (pojokan
pom bensin alun-alun) atau Jogja Zindikat. Menguasai hampir seluruh Malioboro
dan sebagian wilayah Jogja bagian utara.
Berbicara
mengenai faktor penyebab dari mengapa banyak pelajar yang melakukan aksi klitih
tersebut, disebutkan oleh salah satu sosiolog kriminalitas UGM Suprapto bahwa
ada dua faktor yang menyebabkan klitih marak terjadi yaitu faktor internal dan
eksternal. Faktor internal diakibatkan karena kurangnya interaksi, bekal akan
norma-norma sosial yang diberikan oleh keluarga. Faktor internal cukup menjadi
penyebab utama, karena tidak terdapatnya kontrol yang intens di dalam keluarga,
sehingga anak menjadi tidak terarah. Sementara faktor eksternal tidak jauh dari
pergaulan individu tersebut, berkaitan dengan lingkungan sosialnya. Lingkungan
sosial tempat seorang individu bermain dalam hal ini mempengaruhi dirinya untuk
berani melakukan klitih di jalanan serta terdapat dorongan dari teman-teman
sepergaulannya untuk mau membuktikan diri “Berani” dalam menerima tantangan dan
tidak dicap sebagai pengecut.
Klitih
mengalami pergeseran definisi, yang dahulu berupa ajang tawuran dan kekerasan
antar kelompok geng pelajar SMP dan SMA. Klitih sendiri menjadi pengganti nama
dari tawuran. Dahulu memang tawuran, namun seiring dengan berjalannya waktu
klitih menjadi terror pembacokan orang lain di jalanan yang menggunakan
celurit, parang, pedang katana, ataupun benda tajam lainnya. Bahkan, korban
banyak yang mengalami luka-luka, jahitan yang banyak, bahkan tewas akibat aksi
klitih yang marak terjadi. Kemudian, target dari aksi ini sangat acak. Dahulu
memang menyisir golongan tertentu, namun makin ke sini korbannya menjadi acak.
20015-2011 menjadi tahun yang cukup menegagngkan untuk aksi klitih di Jogja.
Dilansir dari mojok.co tulisan
mengenai pengakuan mantan pelaku klitih yang berbagi pengalamannya saat klitih.
Dahulu, pelajar SMA jadi target aksi klitih, bahkan sepulang sekolah menjadi
waktu yang tepat untuk melancarkan aksi klitih. Aksi saling dendam antar
sekolah menjadi pemicu utama klitih, dan hal tersebut turun temurun dari senior
ke junior.
Namun,
dalam penuturannya, klitih yang dimaksud berbeda dengan klitih sekarang. Dahulu
hanya untuk ajang pamer, keren-kerenan antar sekolah, berjalan rombongan
menggunakan motor, kalaupun tawuran tidak sampai merenggut nyawa. Tujuannya
simpel, solidaritas dan mempertahankan nama baik sekolah. Bahkan menurut
pengakuan mantan klitih, pelaku yang masih remaja secara sembunyi-sembunyi
menyerang orang lemah dan tak melawan adalah seorang yang pengecut.
Kesimpulan
yang dapat ditarik adalah, dahulu Klitih memang tidak merujuk ke pembacokan
orang-orang secara random, hanya anak-anak SMA ataupun SMP di Jogja yang mencoba untuk
menjadi keren dengan berkeliling kota menggunakan motor selepas pulang sekolah.
Kemudian, seiring berjalan waktu, Klitih berubah definisi sebagai ajang tawuran
antar pelajar untuk mempertahankan nama baik sekolahnya. Berlanjut lagi, Klitih menjadi momok menakutkan bagi warga Jogja
karena target-target klitih juga ngacak dan kerap kali memakan korban, baik
korban luka maupun korban tewas. Terkadang, korban pun tak memandang usia dan asal
korban, baik mahasiswa asli maupun rantau. Pesan tersendiri untukku dan
teman-teman mahasiswa, terutama mahasiswa rantau, untuk tetap berhati-hati dan
selalu waspada. Terutama untuk yang berpergian ketika malam hari, dan dalam
keadaan sendirian tanpa teman. Terlebih semenjak tulisan ini dirilis, banyak
sekali kasus-kasus klitih yang telah terjadi, namun aparat penegak hukum belum
dapat mengeradikasi klitih untuk tidak terjadi lagi. Pesan juga untuk aparat,
untuk selalu berpatroli sekitaran wilayah Jogja yang diduga rawan klitih, guna
mencegah terjadinya kasus ini terulang kembali.
Komentar