Sudut-Sudut Kotagede Yogyakarta


Bangun di hari minggu yang cukup cerah, tepatnya tanggal 9 Februari 2020. Langit memang cukup cerah hari itu, namun firasatku mengatakan bahwa siang nanti pasti akan turun hujan. Manis diawal, sedih diakhir. Aku masih bergolek-golek sedikit di kasur kos yang cukup nyaman dan enak untuk melanjutkan tidur, tapi aku teringat ada janji dengan salah satu temanku untuk sedikit refreshing. Seketika, aku langsung mengambil handphone dan mnegirimkan pesan whatsapp untuk meminta lokasi dimana dirinya berada. By the way, temanku asli Jogja dan memang tinggal di Jogja (Yaiyalah, namanya juga orang asli, pastinya tinggal di sini). Namanya Hasna, mahasiswa salah satu perguruan tingga swasta yang memasuki tahun keempat, alias sudah mau skripsian. Alhamdulillah dirinya langsung mengirim lokasi, tapi bukan lokasi rumahnya. Lokasi yang menurutnya strategis, yaitu kanto kas BRI di daerah Kotagede. By the way, rumahnya berada di daerah Kotagede, Yogyakarta.

Tepat pukul 9.15 aku memutuskan untuk berangkat, guna mengantisipasi telat dan macet di jalan, rute yang telah dipilih oleh Google mengharuskan aku melewati jalur Ring Road. Baik langsung menuju tempat yang dituju, aku sampai sekitar pukul 9.55, menurutku ini cukup cepat. Sembari menuju kesana, suasana saat memasuki daerah Kotagede memang cukup kental akan suasana tempo dulu, walau zaman sudah berubah cukup cepat. Motor kubawa dengan sangat pelan, menikmati suasana pasar dan jalanan yang menjadi ciri khas Jogja. Sesampai di BRI, aku menunggu beberapa menit, dan tiba-tiba Hasna datang dan sudah membawa helm.

Sebelumnya, beberapa waktu yang lalu, aku iseng nanya-nanya, “bikin konten yuk, podcast gitu? Mau?”. Hasna belum dapat mengikuti untuk membuat podcast karena suatu alasan. Aku coba bertanya dengannya, mengenai tempat yang menyimpan cerita misteri. Dia menawarkan untuk mengajakku ke tempat tersebut, istilahnya menjadi tour guide. Baik, aku setuju dengan idenya.

“Langsung aja ya?” tanyanya, lalu aku mengiyakan. Ternyata, tempat tersebut tidak terlalu jauh dari kantor kas BRI tersebut, hanya berkisar beberapa meter saja. Tempatnya masuk ke dalam gang. Jalanan gang yang berbeda dari gang pada umumnya menambah nilai estetikanya. Sesampainya di depan rumah tersebut yang berpagar cukup tinggi. Terdapat beberapa bunga di sekitar halaman rumahnya. "Kalau dulu, emang kayak rumah tak terawat,” jelas Hasna. Sekilas, aku juga membayangkan betapa tak terwatnya tempat ini tempo dulu, sebelum tempat ini terkenal akan keangkerannya.

Tampak depan dari "Rumah Pocong". Terdapat himbauan kepada pengunjung untuk tidak menjadikan rumah ini sebagai konten Youtube

Melihat pagar yang terkunci, aku berspekulasi bahwa penjaga dari rumah ini sedang tidak berada di sekitara sini. Terlebih, yang membuatku tergelitik adalah larangan untuk tidak membuat konten Youtube didalam rumah tersebut. Aku melihat eksistensi rumah ini sangat meningkat drastis seiring dengan maraknya konten berbau horor dan investigasi paranormal.

Mungkin juga karena faktor privasi yang tidak bisa diganggu terus menerus,sehingga membuat pemilik rumah tersebut tidak lagi mengizinkan para content creator untuk membuat konten didalam rumah tersebut. Melihat ke halaman dalamnya, terdapat berbagai macam bunga yang tumbuh cukup subur dan cukup terawat. “Sejak aku kecil, rumah ini sudah ada. Namun, aku kurang tau kapan rumah ini mulai ditinggalkan,” jelas Hasna mengenai rumah yang kami kunjungi pertama.

Salah satu jendela terbuka. Mungkinkah ada penghuninya?

Tampak halaman dalam cukup subur dan banyak ditumbuhi bunga-bunga

Setelah memotret beberapa foto dan ngobrol sedikit tentang rumah ini, aku melanjutkan perjalananan kembali. Hasna mengajakku ke tempat yang tak jauh dari Rumah Pocong, yaitu Rumah Pesik. Rumah Pesik yang berjarak mungkin satu hingga tiga meter dari Rumah Pocong. Suasana gang yang cukup sepi memang membuat tempat ini cukup membuat bulu kuduk merinding. Terlebih, pada saat aku dan Hasna masuk kedalam halaman rumah tersebut, kami disambut banyak sekali patung-patung beraneka ragama yang menghiasi rumah tersebut.

Hasna mengatakan, bahwa rumah tersebut dimiliki oleh orang yang berasal dari Kalimantan. Orang tersebut kemudian membeli rumah itu, dan tidak menghuninya. Mungkin, rumah tersebut hanya akan dijadikan rumah inap saja ketika berkunjung ke Jogja. Kembali lagi, suasana rumah terasa sangat sepi dan tak banyak orang yang mengunjunginya, padahal halaman rumahnya terbuka lebar. Patung-patung berbentuk pasukan romawi yang sangat tinggi, serta patung leak juga ada, dan banyak patung yang menambah kesan sedikit angker. Sepi tak bisa dipungkiri. 





Banyaknya patung yang menghiasi tempat ini, menambah kesan indah dan cocok untuk tempat berfoto

 “Kalau malam, kesannya kayak gimana gitu..” tutur Hasna dengan ekspresi sedikit takut. Aku juga mengiyakan apa yang diucapkan Hasna, memang patung-patung ini menambah kesan bahwa rumah yang berpagar tinggi ini memiliki hawa-hawa mistis. Pagar hijau tinggi seperti melindungi tempat ini dari ekspos dunia luar.




Rumah bertingkat dua ini seperti tidak berpenghuni. Patung-patung pun menjadi satpam yang dapat melindungi tempat ini. 

Beranjak dari rumah itu, aku diajak kembali mengelilingi tempat yang cocok untuk didatangi ketika berkunjung ke Kotagede. Komplek Masjid Mataram Kotagede adalah destinasi selanjutnya. Lokasinya juga tak jauh dari dua kawasan yang kami kunjungi. Masuk ke gang-gang yang cukup kecil, mendapati suasana Jogja yang tak asing kala menuju ke Mesjid Mataram Kotagede. Ada salah satu tempat didepan pintu masuk Masjid Mataram untuk pengguna motor, kami dapati beberapa orang sedang berfoto ria. Aku juga tak asing dengan suasan jalan yang kami lewati, seperti dalam film-film layar lebar bilamana mengambil scene ketika di Jogja.

Melanjutkan perjalanan, kami memasuki gerbang kecil dan memarikirkan motor di area parkir yang tersedia. Aku melihat ini seperti masjid tanpa dinding, memang masjid khas di Jogja mungkin ya,. Terdapat mimbar dan ada tempat untuk mengambil air wudhu disamping pintu masuk ke dalam kompleks Masjid Mataram Kotagede. Ada beberapa orang yang sedang duduk disana, sembari beristirahat. Beberapa turis juga ada yang masuk ke kompleks Mesjid Mataram Kotagede. Kompleks ini masih ada kaitannya dengan komplek masjid Gede Kauman di dekat Kraton Yogyakarta. Didalam kompleks, juga terdapat kolam pemandian dan makam-makam raja. “Untuk pemandian, itu kan dibagi jadi dua ya, untuk laik-laki dan perempuan. Terpisah. Aku nggak boleh masuk ke tempat yang laki-laki,” tutur Hasna yang menjelaskan tentang sedikit peraturan untuk mengunjungi tempat pemandian. Ketika aku masuk, memang terdapat beberapa kolam pemandian yang cukup terawat menurutku. Baru beberapa langkah masuk, ada beberapa orang yang sedang melihat-lihat kolam pemandian, dan aku melihat ada perempuan dalam rombongan tersebut. Perasaanku tadi Hasna sempat mengatakan bahwa perempuan tidak diperkenankan untuk melihat tempat pemandian laki-laki. Cukup aneh, mungkin saja pengunjung tersebut tidak melihat peraturan, atau bagaimana, aku tidak tahu pasti. 

Salah satu sudut kolam pemandian
Pintu masuk kawasan makam-makam Raja Mataram
Tampak depan Masjid Mataram Kotagede. Beberapa orang sedang duduk santai di pelataran masjid

Setelah selesai mengelilingi kawasan tersebut, kami memutuskan untuk pergi lagi ke suatu tempat yang cukup menarik. Terlebih diriku sendiri belum pernah ke tempat tersebut, walau sudah lama tinggal di Yogyakarta. Situs Warungboto. Situs ini mirip dengan Taman Sari. Berlokasi di pinggir Jl. Veteran No. 77, Warungboto, Umbulharjo, Kota Yogyakarta, DIY. Begitu sampainya aku disana, kudapati beberapa galian yang dikerjakan oleh pemerintah. Seperti proyek untuk mengekspansi situs tersebut. Namun, aku belum bisa memastikannya.

“Biasanya, kolam ini ada airnya. Tapi mungkin sedang kering dan terdapat pengerjaan, jadinya di kolam tersebut tak ada airnya,” jelas Hasna yang melihat kolam dari situs ini tidak terdapat airnya. Memang, aku juga pernah melihat-lihat di internet bahwa terdapat air didalam kolam di Situs Warungboto ini. Sedang kering, entahlah. Situs ini juga berbatasan dengan perumahan warga, yang menjadikannya seperi tempat wisata yang dikepung oleh perumahan warga, tanpa ada tempat wisata lain di sisi-sisi lainnya, sendirian. Wisatawan yang berkunjung menurutku tidak seramai di Taman Sari, mungkin karena cuaca yang waktu itu sangat panas banget, walaupun tempat ini punya daya tariknya sendiri. “Pernah jadi tempat preweding anaknya Presiden Jokowi, loh,” tambah Hasna mengenai tempat tersebut.

Waktu sudah menunjukkan pukul 11.30 siang, kami memutuskan untuk menyudahi kegiatan berkunjung ke tempat-tempat tersebut. Merupakan hal yang menarik dan langka mengunjungi sudut-sudut kota yang banyak mewarisi jejak budaya, terlebih dengan kutanya gelombang perkembangan zaman yang tak mungkin dibendung. 
Worth it untuk dicoba dan mempelajari apa yang tersimpan dibalik suatu tapak tilas sejarah masa lalu.



Komentar

Postingan populer dari blog ini

PDD; Pekerjaan Kompleks yang Tak Relevan Lagi

Apa Itu Open Recruitment?

Mengenal Hujan