Kisruh NBL Penentu Nasib Calon Apoteker
Ujian Penentu Kelulusan Apoteker yakni UKAI (Sumber : https://pixabay.com/id/users/khamkhor-3614842) |
Setelah
lama saya belum menulis apapun di blog ini, akhirnya saya kembali untuk
menuliskan opini saya disini. Sekali lagi ini hanyalah opini belaka, silahkan
untuk berkomentar dan saling tukar pendapat nanti di kolom komentar (bila
tulisan ini rame).
Beberapa
waktu yang lalu saya dikejutkan dengan kabar dari beberapa teman angkatan saya
dan kakak tingkat saya sewaktu saya masih kuliah profesi, bahwasanya banyak
yang tidak lulus ujian kompetensi apoteker atau lebih dikenal Ujian Kompetensi
Apoteker Indonesia (UKAI) pada periode Agustus 2022 yang lalu. Lalu saya coba
bertanya ke salah satu kakak tingkat (Kating) tentang hal tersebut. Semuanya
berasal dari nilai desas-desus Nilai Batas Lulus (NBL) yang secara sepihak
ditingkatkan setelah UKAI berlangsung. Saya merasa aneh dan heran, kenapa hal
tersebut bisa terjadi? Lalu kenapa dinaikkan secara “Signifikan”, yang awalnya
hanya 52,5 menjadi 56,0 atau 56,5 saya tidak tahu pasti.
Desas-desus
tersebut saya dapatkan pertama kalinya pada salah satu akun Instagram yang
berfokus pada mentoring (les) persiapan UKAI. Menurut Story Instagramnya,
beberapa followers akun tersebut mengirim pesan pribadi (DM) berisi bahwa akan
ada kenaikan NBL pada UKAI periode ini. Hal tersebut disebabkan karena pada
tahun ini peserta yang mampu menjawa soalnya lebih dari 50 atau 60 persen
(Koreksi jika saya salah). Sehingga dari pihak panitia langsung mengganti NBL
menjadi 56 tadi, meningkat signifikan dari 52.
Setelah
berlarut-larut dan akhirnya diumumkanlah hasil UKAI, dan ternyata NBL UKAI
periode Agustus 2022 dinyatakan “Naik”. Banyak peserta yang masih menggunakan
nilai patokan 52,5 untuk lulus, tersaring dan dinyatakan tidak lulus. Peserta
yang tidak lulus merasa tidak adil dengan hal tersebut, sehingga mereka membuat
gerakan untuk mempertanyakan kenapa hal tersebut bisa terjadi. Banyak yang
mempertanyakan kenapa sistem nilainya berbeda dengan yang kemarin. Waktu saya
melaksanakan UKAI periode Februari 2022 yang lalu, nilai NBL masih menggunakan nilai
pada UKAI September atau Agustus 2021 yaitu 52,5. Kemudian, tidak adanya
perubahan NBL setelah ujian dilaksanakan. Namun, kenapa perubahan NBL
ditetapkan setelah ujian berlangsung? Saya menangkap hal tersebut seakan-akan
NBL nantinya akan semakin fleksibel mengikuti perkembangan pendidikan apoteker
itu sendiri, atau mengikuti hasil penjurian yang ditetapkan setelah mengisi
soal UKAI yang dilakukan oleh tim penjurian Panitia Nasional (PN) UKAI…
Pengurus
Pusat Ikatan Apoteker Indonesia (PP IAI) merespon setelah terjadinya kegaduhan
akibat tidak ada jawaban pasti setelah beberapa hari pro-kontra di sosial
media. Pihak PP IAI membagikan postingan di akun Instagram resmi mereka tentang
“Bagaimana penetapan NBL di UKAI”. Inti dari postingan tersebut adalah untuk
memberikan informasi mengenai proses penentuan NBL dan jalannya sistem CBT UKAI
seperti apa, bagaimana sistem penilaian mereka, dan lain sebagainya. Beberapa
poin yang mungkin menjadi problematika adalah seperti :
1. Kegiatan
standard setting UKAI metode CBT dilakukan setelah pelaksanaan ujian karena
proses penjurian menggunakan soal yang diberikan saat ujian, sehingga tidak
dapat dilakukan sebelumnya.
2. Penjurian
dilakukan oleh para dosen perwakilan Program Studi Profesi Apoteker (PSPA) dari
seluruh Indonesia yang berlaku sebagai juri/judge.
3. Hasil
dari proses penjurian (standard setting) tersebut disepakati oleh para juri
sebagai NBL terbaru yg dilakukan bagi seluruh peserta ujian kompetensi pada
periode tsb.
Bagaimana,
menarik untuk dibahas dan menjadi pro-kontra bukan poin-poin diatas? Nah, PN
UKAI sendiri menggunakan metode Modified-Angoff dalam ujian CBT UKAI untuk
dapat menentukan NBL. Menurut salah satu jurnal yang saya baca dari Korean
Journal of Medical Education (https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC6288617/pdf/kjme-2018-110.pdf)
disebutkan bahwa Metode Modified-Angoff adalah metode yang melibatkan panelis
(juri) dalam menentukan skor potong atau nilai lulusnya suatu tes tertulis.
Metode ini adalah metode yang paling umum digunakan dalam tes tertulis untuk
lisensi dan sertifikasi profesi. Dalam Metode Angoff, panelis memeriksa setiap
item tes dan “memperkirakan” probabilitas bahwa orang yang berkompeten minimal
akan menjawab item pada tes dengan benar. Serta hasil dari penelitian tersebut
diketahui metode ini layak digunakan oleh Korean Medical Licensing Examination
(KMLE) sebagai sertifikasi profesi pendidikan kesehatan karena hasilnya tidak jauh
berbeda dengan metode konvensional.
By
The Way, metode tersebut saja saya baru tahu ya, dulu-dulu waktu saya mau ujian
saja tidak diberitahukan kampus maupun Panitia Pelaksana (Panpel) wilayah.
Memang benar sih dari jurnal yang saya baca, metode tersebut banyak digunakan
di ujian profesi, termasuk Ujian Kompetensi Dokter Indonesia (UKDI) yang
menggunakan metode yang sama. Kalau bisa dibilang, terdapat kelalaian dari
pihak Panpel untuk mensosialisasikan metode penentuan NBL dan metode ujian yang
digunakan. Sehingga para peserta seperti kurang informasi dalam menempuh ujian.
Ditambah, PN UKAI juga tidak mengarahkan Panpel untuk dapat menginformasikan ke
peserta di wilayahnya masing-masing terkait metode ujian dan metode penetapan
NBL tersebut, sehingga terjadilah kisruh seperti ini.
Lalu,
adanya penjurian di Ujian periode Agustus 2022 setelah dilaksanakannya UKAI
adalah perbedaan yang menonjol dibandingkan dengan ujian periode sebelumnya.
Saya juga baru tahu adanya tim penjurian tersebut setelah ujian periode Agustus
ini. Sewaktu saya ujian dulu, tidak ada disebutkan ada Tim Penjurian setelah
UKAI berlangsung. Saya hanya tahu ada Tim Reviewer Soal, Panpel, dan PN UKAI
yang mengurusi perihal UKAI ini. Mungkin dibentuknya Tim Penjurian yang
merupakan perwakilan dari Program Studi Profesi Apoteker (PSPA) Seluruh
Indonesia adalah untuk memeriksa apakah soal-soal yang diujiankan sudah sesuai
untuk menilai kompetensi calon apoteker atau tidak. Namun, kenapa harus
dilakukan penjurian setelah ujian berlangsung? Apakah soal dari Tim Reviewer
tidak dapat ditelaah Tim Juri terlebih dahulu untuk menentukan NBL sebelum
ujian berlangsung? Berkaca dari Jurnal yang dibaca, penjurian memang
dilaksanakan setelah ujian berlangsung untuk menetapkan target NBL. Sehingga
perlunya transparansi metode ujian yang digunakan adalah solusi dari kasus
tersebut.
Selanjutnya,
terkait NBL yang ditentukan dengan metode tersebut, membuat para calon apoteker
harus berusaha lebih kuat dan giat agar mendapatkan nilai maksimal. Menurut
saya memang “Susah” ya kalau harus meraba skor minimal untuk bisa lolos kalau
skor lulus minimal saja ditentukan setelah ujian berlangsung. Hal tersebut
membuat calon apoteker yang ahli di beberapa bidang (dari 3 bidang yang
diujiankan yaitu Klinis, Industri, dan Menejemen atau SBA) saja akan kesulitan
dan cukup terbebani. Saya tak memungkiri, banyak orang-orang di luar sana
berkata “Jadi Apoteker harus menguasai semua bidang”, “Belum lulus, berarti
belum Kompeten” dan lain sebagainya yang malah membuat mental dari teman-teman
yang belum lulus menjadi Down. Saya rasa tidak adil menyamaratakan kemampuan
semua peserta dalam menguasai ketiga bidang tersebut. Pasti ada yang mampu
menguasai 1 atau 2 bidang saja, bahkan hanya ada yang mampu menguasai 1 bidang
saja, sehingga bidang-bidang yang lain mungkin dia tidak 100% menguasainya.
Sehingga peserta akan dituntut untuk bisa semua bidang agar NBL terpenuhi,
karena peserta tidak mengetahui NBL yang “Fix” nya berapa. Ibaratkan prajurit
yang akan membidik musuh atau targetnya, tiba-tiba dilempari gas air mata
ataupun bom asap, sehingga targetnya tidak terlihat dan kita buta seketika.
Tidak tahu arah dan targetnya berapa membuat peserta menjadi was-was setelah
ujian berlangsung karena NBL tidak diketahui secara pasti.
Dapat disimpulkan NBL tidak akan turun, dan hanya aka nada 2 pilihan saja yaitu “Tetap” atau “Naik”. Kemudian metode ujian dan metode penentuan NBL harus di-“SOSIALISASIKAN” sebelum Ujian baik itu UKAI maupun Try Out Nasional agar peserta sudah siap sebelum ujian sesungguhnya. Serta, tidak hanya pihak Panpel dan PN UKAI saja, pihak pemangku kebijakan (IAI, KFN, APTFI) harus memberikan solusi dari kisruh ini, jangan didiamkan berlarut-larut dan hanya memberikan penjelasan metode ujian setelah masalah ini meluas. Serta masih banyaknya peserta yang belum lulus (dengar-dengar dari GFMI (Gerakan Farmasi Milenial Indonesia) ada sekita 50%-70% mahasiswa calon apoteker se-indonesia belum dinyatakan lulus) merupakan PR besar dari pihak kampus, metode atau treatment seperti apa yang harus dilakukan untuk menggenjot mahasiswa agar siap menghadapi UKAI. Kalau mau kasarannya sih mungkin begini : “Masuk PSPA fokus UKAI saja” itu kasarannya yaa, tapi di lapangan kan berbeda jauh ya. Ada Praktek lapangan, Materi dan lain sebagainya yang penting untuk menunjang mahasiswa mengikuti UKAI.
Update
berita terakhir menunjukkan adanya audiensi antara pihak mahasiswa apoteker
dengan IAI pada tanggal 5 September 2022 yang lalu. Hasil dari audiensi yang dilaksanakan
di Sekretariat PP IAI, Jakarta merumuskan hal-hal berikut ini (Sumber : Farmasetika.com) :
1. Mengevaluasi sosialisasi terkait pedoman
UKAI sejak S1 Farmasi hingga Profesi Apoteker
2. Berkoordinasi dengan Asosiai Perguruan
Tinggi Farmasi Indonesia (APTFI) untuk
mensosialisasikan Sistem Penentuan NBL UKAI kemarin ke mahasiswa
Apoteker via zoom segera
3. Mendorong APTFI mengevaluasi matriks
kurikulum & cost selama proses pendidikan profesi apoteker
4. Akan berkoordinasi dengan APTFI untuk
mengevaluasi sinkronisasi proses hulu hingga hilir pendidikan profesi Apoteker
5. Akan memastikan waktu maksimal masa
perkuliahan Apoteker (case : 6x / 3 th terancam DO)
6.
Mengupayakan pelaksanaan UKAI lebih 2x
dalam 1 tahun
7.
Memberikan Feedback data penilaian
setiap mahasiswa di sistem web
8.
Mengevaluasi penanganan retaker secara
khusus oleh kampus
9.
Mengevaluasi proses pengumuman agar
lebih cepat
Kebanyakan
poin yang disampaikan memang merujuk pada evaluasi pelaksanaan ujian kemarin.
Namun, ada juga beberapa poin yang membahas mengenai bagaimana proses
pendidikan seorang apoteker yang mana dimulai dari S1 Farmasi hingga jenjang
profesi. Sementara itu, ada juga poin yang dibahas mengenai biaya pendidikan
seorang apoteker hingga transparansi website UKAI. Poin Transparansi Website
ini saya waktu ujian yang lalu sempat merasakannya,, karena tidak terdapat
penjelasan mengenai jumlah soal benar dan salahnya setelah melaksanakan ujian.
Terkahir,
saya sendiri hanya dapat berpesan kepada teman-teman calon apoteker, untuk
selalu berusaha, selalu belajar, karena memang dengan teman-teman belajar akan
menjadi bekal kalian nanti di lapangan (Walaupun di lapangan nanti bisa jadi
berbeda yak, tapi seenggaknya kalian ada bekal dulu). UKAI ini jangan sampai
dihapuskan. Tetap kita awasi dan lihat sejauh mana UKAI ini nantinya akan
menghasilkan apoteker yang “Bermanfaat” untuk membantu bangsa. Kenapa saya
tidak mengatakan “Kompeten”? karena buat apa kita Kompeten namun tidak
bermanfaat buat orang banyak dan masyarakat? Buat apa juga nantinya kalau ilmu
yang kita dapatkan nanti hanya untuk diri sendiri saja, tidak diberikan dan
disebarluaskan ke masyarakat?. Jadi teruss semangat, jangan patah arang. Pesan
ini juga berlaku ke saya sendiri dan teman-teman apoteker masa depan yang
mungkin saja membaca tulisan ini.
Komentar