Disiplin yang Dipaksa


Kehidupan kampus berbeda dengan kehidupan pendidikan di tingkat sekolah atau paling dekat adalah SMA. Perguruan Tinggi mendidik mahasiswanya untuk bisa menjadi orang yang dapat berguna dan bermanfaat bagi orang banyak, berprilaku yang sesuai dengan tingkat pendidikannya, menjadi orang yang kritis akan perubahan yang sedang terjadi, dan masih banyak hal yang dididik dalam perguruan tinggi. Mahasiswa yang diagungkan dengan kata “Maha” didepan kata “Siswa” harusnya sudah bertindak dan berprilaku sesuai dengan nama “Mahasiswa” yang diembannya olehnya. Namun, melihat realita yang masih berlangsung di kehidupan kampus, rasanya beberapa oknum “Mahasiswa” masih belum menunjukkan hal yang tadi telah saya sebutkan. Ada salah satu sikap yang mungkin diajarkan sejak dini, dimana sikap ini sangat bermanfaat buat kita semua karena akan berdampak positif bagi diri kita sendiri, terutama untuk menteraturkan diri sendiri. Sikap tersebut adalah “Disiplin”.

Membahas mengenai disiplin, sekarang coba kita kecilkan lagi lingkup disiplin pada dunia kampus, terlebih dalam orientasi mahasiswa baru atau yang biasa disebut Ospek. Kegiatan ospek dibuat untuk mengenalkan dunia kampus pada mahasiswa baru, baik lingkup universitas maupun fakultas. Pengenalan bagaimana kehidupan kampus, kemudian fasilitas kampus seperti apa, kegiatan-kegiatan yang ada di lingkup kampus seperti dna hal-hal lainnya berkaitan dengan kampus. Terlihat dalam setiap Ospek di berbagai kampus, keteraturan dan kedisiplinan pasti harus dijaga, datang tepat waktu, dan membawa atribut yang ditugaskan kepada mahasiswa baru. Namun, sikap disiplin seperti disalahgunakan oleh Oknum senior di berbagai kampus. Disini saya menyebutkan semua kampus karena pasti setiap kampus pernah melakukan tindakan-tindakan seperti kekerasan dan perundungan dengan mengatasnamakan “Disiplin”.

Salah satu contoh tindakan kekerasan yang mengatasnamanakan disiplin seperti memarahi maba ketika tidak membawa peralatan atau atribut yang digunakan. Hal tersebut dapat dikategorikan menjadi kekerasan verbal bilamana kemarahan terus berlarut-larut bahkan sampai memarahi tanpa sebab sehingga menurunkan mental maba tersebut. Kemarahan para senior tersbut sudah kelewat batas, terlebih mereka tidak ada solusi yang diberikan kepada maba, sehingga mereka membenarkan tindakan tersebut dengan mengatasnamakan penegakan disiplin kepada maba. Saya tak habis pikir, oknum senior tersebut kok sampe bisa-bisanya marah-marah gak jelas karena ada aturan sedikit yang dilanggar. Okeh, kalau dalam artian untuk menjunjung tinggi kedisiplinan saya masih bisa terima, dalam artian juga harus disertai dengan solusi dan teguran yang secukupnya. Toh juga hal tersebut biasanya terjadi hanya sekali, pengecualian bagi yang telah berulang melanggar aturan ya, harus ditindak tegas. Namun, teguran tersebut jangan smapai membuat mental yang ditegur malah drop, atau mungkin merasa terpaksa melakukan hal tersebut, dalam tanda kutip “Dipaksa untuk Disiplin”.

Bilamana sikap disiplin selalu dipaksa, maka tidak ada makna sama sekali yang diambil oleh orang yang bersangkutan. Kasarnya adalah, “Saya udah ngelakuin hal itu, yaa karena dimarah dan ditegur oleh senior, jadi takut sama mereka,” Lihat? Disiplin yang dipaksakan dengan cara marah atau teguran yang kasar dapat menyebabkan mereka dalam tanda kutip “Terpaksa Patuh” dan ujung-ujungnya “Takut”. Disiplin tersebut ya ujung-ujungnya hanya dilakukan ketika suatu kegiatan saja, contohnya hanya ketika Ospek. Menurut saya, percuma saja penegakan kedisiplinan dibarengi oleh teguran kasar yang sifatnya tidak membangun, bahkan menjatuhkan mental orang tersebut. Tindakan semena-mena tersebut lebih buruknya adalah akan terus berulang-ulang kepada adik-adik tingkatmya kelak, layaknya lingkaran setan yang tak ada ujungnya. Mahasiswa yang dulunya pernah mendapat teguran kasar akan memegang teguh narasi bahwa “Penegakan Kedisiplinan” pada kegiatan ospek ataupun kegiatan lain yang terdapat adik tingkatnya. Terlebih, ospek pada tahun ini seluruh kampus menyelenggarakan secara online. Artinya, tidak ada interaksi secara fisik yang berlangsung antara senior dan junior. Junior beranggapan bahwa dengan ospek online, akan baik-baik saja, tak ada serangan verbal seperti yang ia lihat di Youtube atau berita-berita mengenai perpeloncoan saat ospek. Mungkin berbeda dengan oknum senior yang sedikit kecewa karena tidak bisa melampiaskan hal-hal yang telah saya sebutkan di pembahasan sebelumnya (red;perpelocoan, teguran kasar, dll), lingkaran setan terpaksa berhenti karena pandemi Covid-19.

Kesimpulannya, oknum senior sudah selayaknya memperlakukan adik-adik tingkatnya seperti kalian ingin dihargai dan diperlakukan layaknya manusia, bukan seperti budak yang hanya disuruh-suruh dan diancam dengan kekerasan. Pengenalan kampus sejatinya adalah untuk mengenalkan kehidupan baru, kehidupan pendidikan yang lebih tinggi seperti apa, dan lain sebagainya yang diselenggarakan dengan baik dan edukatif. Apa salahnya untuk membuat ospek yang seperti itu? Tidak memasukkan unsur kekerasan fisik maupun verbal yang dapat menurunkan mental mahasiswa baru. Sudah selayaknya aturan dari masing-masing kampus juga diperketat, dengan catatan tetap mengadakan audiensi dnegan mahasiswa (red;Panitia ospek) agar didapatkan hasil yang memuaskan di kedua belah pihak. Cara-cara diatas mungkin hanya sebagian kecil untuk memutus rantai lingkaran setan kekerasan pada mahasiswa baru dengan mengatasnamakan “Penegakan Kedisiplinan”.

Komentar

Agung Putra Dwijaya mengatakan…
Good article. Senioritas dalam kampus jangan sampai membuat perilaku yang kelewat batas. Predikat senior yang melekat harusnya mengayomi juniornya

Postingan populer dari blog ini

PDD; Pekerjaan Kompleks yang Tak Relevan Lagi

Apa Itu Open Recruitment?

Mengenal Hujan